Sabtu, 14 Maret 2009

WISATA RELIGI HARIAN BHIRAWA (1)


 Drs H Choirul Anam, yang akrab dipanggail Abah, saat memberikan penjelasan tentang makam Tiban, Kompleks Makam Sunan Ampel.

Wisata Religi Harian Bhirawa


UNTUK yang kesekian kalinya, wisata religi Harian Bhirawa kembali diadakan. Kali ini pesertanya lebih banyak dari biasanya. Kalau biasanya hanya berkisar tidak lebih dari sepuluh orang, maka wisata yang diselenggarakan minggu pertama bulan Pebruari ini mencapai 16 orang, baik wartawan maupun karyawan harian Bhirawa.
Perjalanan diawali dari kantor Bhirawa Jl Indragiri, kemudian menuju ke makam Mbah Karimah di Kembang Kuning. Seperti biasanya, meski berkali-kali ziarah ini dilaksanakan, tapi para peserta selalu meminta cerita tentang makam yang dikunjungi.
Drs H Choirul Anam yang memimpin ziarah tersebut, tampaknya juga tidak bosan-bosan mendongeng. Tentang kisah Mbah Karimah, wartawan senior Bhirawa yang akrab dipanggil Abah ini menjelaskan, Mbah Karimah, nama aslinya adalah Mbah Wirosoerojo. Sedangkan Karimah yang kemudian menjadi istri Sunan Ampel adalah nama anak Mbah Wirosoerojo, tokoh yang disegani di kampong tersebut.
Kisah singkat perkawinan Sunan Ampel dengan Nyai Karimah adalah ketika Sunan Ampel membangun musholla yang kini menjadi Masjid Rahmat itu, Nyai Karimah-lah yang sering mengirimkan makanan saat istirahat. Karena seringnya pertemuan itu, maka timbul rasa cinta dan akhirnya mereka menikah.
Sedangkan tentang nama Kembang Kuning, terdapat dua sumber, masing-masing, pertama berasal dari Ampel Denta. Kata Ampel Denta berasal penggabungan dua kata, Ampel dan Dentho. Ampel berarti Gebang (pintu), dan Dhento berarti Kuning. Oleh karena itu pedukuhan Ampel Dhento disebut pedukuhan Gebang Kuning.
.Sumber kedua, berasal dari nama Mbah Karimah, yang juga dikenal dengan sebutan Ki Bang Kuning. Berhubung kaum penjajah kesukaran dalam pengucapan namanya berganti menjadi Kembang Kuning.

Sunan Bungkul
Usai berziarah di Mbah Karimah, rombongan yang dikomndani Ahmad Tauriq Imani menuju ke makam Sunan Bungkul. Kisah di kompleks makam Sunan Bungkul, tak hanya diberikan oleh Abah, tapi juga oleh peserta lain Ali Sulkan, yang kebetulan rumahnya berada di kompleks makam Bungkul. Selain berziarah di Sunan Bungkul, rombongan diajak Sulkan ke makam Maling Cluring yang terdiri dari tiga bagian, kepala, tubuh, dan kaki. Konon, maling itu tidak bisa mati kalau tidak dipisahkan.
Awalnya, Mbah Bungkul bernama Ki Ageng Supa. Sewaktu masuk Islam, berganti menjadi Ki Ageng Mahmuddin. Tapi karena tinggal di desa Bungkul, maka ia disebut Mbah Bungkul. Ia diperkirakan hidup di masa Sunan Ampel pada 1400-1481. Supa mempunyai puteri Dewi Wardah.
Ada dua versi tentang kisah perkawinan Dewi Wardah, versi pertama, Supa ingin menikahkan puterinya. Namun ia belum mendapatkan sosok yang diharapkan. Lalu Supa mengambil delima dari kebunnya dan bernazar, siapa pun lelaki yang mendapatkan buah ini, akan saya jodohkan dengan anakku, nazarnya.
Delima itu dihanyutkan ke Sungai Kalimas yang mengalir ke utara. Alur air sungai ini bercabang di Ngemplak menjadi dua. Di percabangan kiri menuju Ujung dan ke kanan menjadi kali Pegirikan. Tampaknya delima itu `berenang` ke kanan. Karena suatu pagi santri Sunan Ampel yang mandi di Pegirikan Desa Ngampeldenta, menemukan delima itu.
Sang santri pun menyerahkannya ke Sunan Ampel. Oleh Sunan Ampel delima itu disimpan. Besoknya, Supa menelusuri bantaran Kalimas. Sesampainya di pinggiran, ia melihat banyak santri mandi di sungai. Supa, yakin disinilah delima itu diselamatkan oleh salah satu di antaranya. Apakah ada yang menemukan delima, tanya Supa setelah bertemu Sunan Ampel. Raden Paku, murid Sunan Ampel dipanggil dan mengaku. Singkat cerita Raden Paku, yang kemudian terkenal dengan Sunan Giri itu, dinikahkan dengan anak Supa.
Versi kedua, Ki Ageng Supa mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku. Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Paku, dan ia berkata, ”Kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah.”
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengeluarkan seyembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel. “Tak usah bingung Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslim yang baik. Karena hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu,“ demikian kata Sunan Ampel.
"Tapi.....bukankah saya hendak menikah dengan putri Kanjeng Sunan yaitu dengan Dewi Murtasiah?” ujar Raden Paku. “Tidak mengapa?” kata Sunan Ampel. “Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiah selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.”
Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkul seorang bangsawan Majapahit itu.

Sunan Ampel
Ketika ziarah di makam Sunan Ampel, rombongan menyempatkan diri menyinggahi makam Mbah Sonhaji alias Mbah Bolong yang merupakan santri Sunan Ampel. Menurut cerita, pada saat membangun masjid Ampel, orang-orang bingung menentukan kiblat. Maka Mbah Sonhaji melubangi dinding depan masjid, dan atas izin Allah orang-orang bisa melihat ka’bah melalui lubang yang dibikin Mbah Sonhaji.
Tidak ketinggalan di kompleks makam Sunan Ampel, rombongan juga menyempatkan diri singgah di makam Mbah Soleh yang berjumlah sembilan makam. Konon, saat Kanjeng Sunan Ampel masih hidup, yang bertindak sebagai tukang sapu masjid adalah Mbah Soleh. Kalau Mbah Soleh menyapu, lantai masjid jadi bersih dan hampir tidak ada debu.
Ketika Mbah Soleh wafat, masjid pun jadi kotor. Maka berujarlah Sunan Ampel: “Andai kata ada Mbah Soleh, tentu masjid ini menjadi bersih,” Seketika itu pula muncul Mbah Soleh. Demikian berlangsung sampai delapan kali. Kemudian Sunan Ampel pun wafat. Maka sudah tidak ada Mbah Soleh lagi ketika beliau wafat.
Namun ada punya pendapat pribadi yang menarik untuk dicermati. Menurutnya, Mbah Soleh itu hanya satu. Sedangkan yang lainnya itu bukan Mbah Soleh, tapi prilakunya, khususnya dalam hal menyapu barangkali sebersih Mbah Soleh, sehingga orang kemudian menyebutnya sebagai Mbah Soleh. Wallaahu a’lam bish shawab.
Di kompleks makam Sunan Ampel pula rombongan diajak menziarahi makam tiban. Lokasinya di sebelah selatan tempat wudhu bagian utara Masjid Ampel, bersebelahan dengan makam pahlawan KH Mas Mansur. Tak lupa Abah pun bercerita.
Kisahnya, makam tersebut punya hubungan dengan gurunya Abah, KH Dzul Hilmi, yang juga imam rawatib masjid Agung Sunan Ampel Surabaya. Almarhum pernah memberikan modal bisnis kepada KH Dzul Hilmi.
Setelah meninggal, arwah almarhum sowan kepada KH Nawawi Muhammad (alm) yang juga imam masjid Ampel. Arwah tersebut minta tempat di Ampel. Maka KH Nawawi pun menunjukkan tempat yang kini ditempati makam tersebut. Selain sowan kepada KH Nawawi, arwah almarhum juga sowan kepada Ust Abdullah (alm). Ternyata meskipun tidak ada kesepakatan, Ust Abdullah juga memberikan tempat yang sama. Kemudian keesokan harinya muncullah makam tersebut.
Usai berziarah di kompleks makam Sunan Ampel, rombongan kemudian melanjutkan berziarah di Sunan Giri, lalu ke makam Maulana Malik Ibrahim, makam Dewi Retno Suwari dan makam panjang Leran, ke Sunan Drajat di Lamongan, dan diakhiri di Makam Sunan Bonang, Tuban.(zainlal ibad/bhirawa)

1 komentar: