Jumat, 13 Maret 2009

Resensi Buku: Nilai Plus Ilmu Tajwid


Resensi Buku: 


Nilai Plus dari Ilmu Tajwid

Judul Buku : Ilmu Tajwid Plus
Penulis : Moh. Wahyudi
Penerbit : Halim Jaya, Surabaya
Edisi : Cetakan Pertama Mei 2007
Jml Halaman : 373 + xvii
Peresensi : Drs H Choirul Anam, 
  Imam rawatib dan Kepala Unit TPA Masjid Hidayatullah, Kandangan Surabaya.
   

SEBAGAI bagian dari ilmu Alquran, ilmu tajwid memiliki arti penting dan menjadi pelajaran wajib dalam studi Alquran. Dalam ilmu Tajwid akan diketahui secara detail dan luas tentang bacaan yang benar dengan hukum-hukumnya. Seperti ditulis pada cover belakang buku tersebut, buku ini merupakan buku tajwid yang lengkap dan komprehensip, dengan ulasan yang mudah dipahami dan ringkas.
Buku ini sengaja diberi judul Ilmu Tajwid Plus, karena merasa memiliki nilai lebih dibandingkan dengan buku tajwid yang pernah beredar dalam edisi bahasa Indonesia. Seperti dikatakan penulisnya bahwa nilai lebihnya terletak pada format isi yang lebih variatif. 
Dalam buku ini tidak hanya menghadirkan lima bahasan pokok yang lazim dikupas dalam ilmu tajwid, seperti Makhorijul Huruf, Sifatul Huruf, Ahkamul Huruf, Ahkamul Madd, dan Ahkamul Waqfi wal Ibtida’, tetapi juga bahasan lain yang dianggap penting untuk diketahui dan dipelajari bagi para pembaca Alquran, santri dan guru Alquran, serta masyarakat luas.
Di antaranya tentang sejarah dan biografi lengkap ulama qiraat sab’ah, tajwid adzan dan iqamah, cara menyambung akhir Surat Al Anfal dengan Surat Al Baro’ah (hal. 259). Selain itu, dalam buku ini juga dicantumkan contoh-contoh aplikasi yang bersumber dari Alquran, yang dapat dipergunakan untuk latihan membaca, skema dan tabel dari pembahasan untuk memudahkan hafalan.
Sementara itu, yang lebih menarik lagi, dalam buku ini secara lengkap disebutkan arti dan istilah dari suatu bahasan, bahkan dicantumkan juga definisi dengan bahasa Arab, lengkap dengan mengutip sumber dari kitab yang dipakai rujukan. Hal ini untuk menambah keyakinan pengetahuan dan memperkaya wawasan bagi pembacanya. Misalnya, bacaan Izh-har Halqi. Izh-har menurut bahasa adalah al Bayan, artinya jelas. Sedangkan Halqi artinya tenggorokan. 
Sedangkan Izh-har menurut istilah adalah ikhraaju kulli harfin min makhrojihii min ghoiri ghunnahtin fil harfil muzh-har (mengeluarkan setiap huruf dari makhrojnya tanpa memakai dengung/sengau pada huruf yang dibaca izh-har) . Menurut catatan kakinya, definisi ini diambil dari kitab Hidayatul Mustafid, halaman 5 dan Ar Ro’id fi Tajwidil Quran, halaman 5.(hal. 93).
Contoh lain bisa dilihat pada bacaan Ikhfa’ (hal. 101). Ikhfa’ menurut bahasa adalah As-Satru, artinya samar atau tertutup, sedangkan menurut istilah, Ikhfa’ adalah an nuthqu bil harfi bi shafatin bainal izh-har wal idghami ’aarin ’anit tasydiidi ma’a baqaail ghunnati fil harfil mukhfiyyi (mengucapkan huruf dengan sifat antara Izh-har dan Idghom, tanpa tasydid dan dengan menjaga ghunnah pada huruf yang diikhfakkan). (Diambil dari kitab Ar-Ro’id fi Tajwidil Quran, halaman 11)
 Pembahasan secara detail tentang suatu masalah ini tidak hanya menyangkut masalah kaidah tajwid saja, tapi bahkan sejak bab pendahuluan yang membahas tentang pentingnya ilmu tajwid itu sendiri. Pada bab pendahuluan disebutkan pengertian tajwid itu sendiri, yakni tajwid secara bahasa berasal dari kata ’jawwada-yujawwidu-tajwidan’ yang artinya membaguskan atau membuat bagus. Sementara pengertian yang lain menurut lughoh (bahasa), tajwid dapat juga diartikan al ityaanu bil jayyidi (segala sesuatu yang mendatangkan kebajikan). 
 Sedangkan pengertian tajwid menurut istilah adalah ’ilman yu’rofu bihii I’thoo-u kulli harfin haqqohu wa mustahaqqahu minash shifaati wal mududi wa ghoiri dzalika kat tarqiiqi wat tafkhiimi wa nahwi hima (ilmu yang memberikan segala pengertian tentang huruf, baik hak-hak huruf/haqqul huruf dipenuhi, yang terdiri atas sifat-sifat huruf, hukum-hukum madd, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah tarqiq, tafkhim, dan semisalnya. Definisi ini diambil dari kitab Hidayatul Mustafid halaman 4.
 Mengutip matan Jazariyah halaman 14 dijelaskan bahwa ilmu tajwid adalah wa huwa I’thoo-ul huruufi haqqoha min shifatin laha wa mustahaqqoha (ilmu yang memberikan pengertian tentang hak-hak sifat huruf dan mustahaqqul huruf.
 Sedangkan mengutip Jalaluddin as-Suyuthiy (rahimahullah) memberikan pengertian tentang tajwid: huwa I’thoo-ul huruufi huquuqaha wa tartiihaa wa raddal harfi ila makhrojihii wa ashlihii wa talthiifunnuthqi bihi ’ala kamaali hai-atihii min ghoirisraafin walaa ta’assufin walaa ifroothin wala takallufin (memberikan huruf akan hak-haknya dan tertibnya, mengembalikan huruf kepada makhraj dan asal (sifatnya) serta menghaluskan pengucapan dengan cara yang sempurna tanpa berlebih-lebihan, serampangan, tergesa-gesa dan dipaksakan).

Perbedaan Qiraat
 Sementara itu, tentang perbedaan qiraat, dalam buku ini didahului dengan mengutip beberapa hadis (hal. 14, 15 dan 16). Kemudian dijelaskan tentang pengertian tujuh huruf, yakni para ulama berbeda pendapat mengenai maksud tujuh huruf sebagaimana yang disebutkan oleh hadis tersebut. Ada yang mengatakan tujuh bahasa, ada yang mengatakan tujuh bentuk perbedaan dan sebagainya. 
 Imam Suyuthy mengatakan, perbedaan pendapat tentang maksud tujuh huruf tersebut tidak kurang mencapai 40 pendapat. Untuk mengetahui lebih jelas masing-masing pendapat itu, dapat dilihat dalam ilmu qiraat. Terlepas dari perbedaan pengertian tersebut, yang jelas dengan adanya kelonggaran bacaan, semua suku dan lidah bangsa Arab dapat membaca Alquran dengan baik.
 Asal mula terjadinya perbedaan qiraat adalah karena bangsa Arab dahulu mempunyai berbagai dialek bahasa (lahjah) yang berbeda antara satu kabilah dengan kabilah lain. Alquran yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya menjadi semakin sempurna kemukjizatannya karena ia dapat menampung berbagai macam dialek tersebut, sehingga tiap kabilah dapat membaca, menghafal, dan memahami wahyu Allah Swt.
 Qiraat yang bermacam-macam ini kemudian oleh Rasulullah Saw diajarkan kepada para sahabatnya, sehingga muncul para ahli bacaan Alquran yang menjadi panutan masyarakat. Yang termasyhur di antaranya adalah Ubay bin Ka’ab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Zaed bin Tsabit, dan Abu Musa Al Asy’ariy. Mereka inilah yang menjadi sumber bacaan bagi sebagian besar sahabat dan tabiin.
 Namun dalam perkembangan selanjutnya, perbedaan qiraat ini menghadapi masalah serius karena munculnya banyak versi bacaan yang semuanya mengaku bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Untuk itu, dilakukan peneliatan dan pengujian para pakar qiraat dengan menggunakan kaidah dan kreteria dari segi sanad, rasm Utsmani, dan tata bahasa Arab.
 Dari sekian banyak qiraat yang bermunculan setelah Rasulullah wafat, setelah dilakukan penelitan dan pengujian yang mendalam, ternyata yang sah dan bernilai mutawatir, menurut kesepakatan ulama ada tujuh qiraat. Dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa ketujuh qiraat itu masing-masing dikuasai, dipertahankan dan dipopulerkan oleh tujuh imam qiraat yang berbeda. Dari merekalah diketahui sumber-sumber qiraat tersebut dan mereka pula yang memiliki sanad yang jelas dengan segala persyaratannya.**


Tidak ada komentar:

Posting Komentar