Rabu, 15 April 2009

Khutbah Idul Adha 2005

Hari Raya Idul Adha atau Idul Qurban adalah hari penuh hikmah dan pelajaran bahwa hidup adalah pengorbanan yang mendekatkan manusia kepada Tuhannya, sesuai dengan makna harfiyah Qurban itu sendiri, yaitu dekat
Dengan semangat berqurban, kita akan memperoleh makna dan tujuan hidup kita. Itulah semangat di balik perayaan Idul Adhda pada hari ini. Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan. Yaitu bahagia lahir dan batin dunia dan akhirat. Tentu saja kebahagiaan manusia tidak terwujud begitu saja. Kebahagiaan tidak diberikan Allah Swt kepada manusia secara gratis. Kebahagiaan hanya bisa diperoleh dengan perjuangan. Tidak ada usaha, tidak ada pahala.

Allahu Akbar 3x Walillahilhamd…..
Hari Raya Idul Adha tahun ini kita laksanakan di tengah bangsa kita baru saja menerima berbagai musibah dan bencana. Musibah yang masih hangat dalam ingatan kita di penghujung tahun 2004 lalu, di antaranya mulai dari tergelincirnya pesawat Lion Air di Solo. Belum reda kepiluan kecelakaan pesawat tersebut, sudah disusul dengan gempa di Papua yang menimbulkan korban harta benda dan jiwa yang tidak sedikit.
Berita ini pun masih hangat, tapi tiba-tiba helikopter milik TNI AL yang hendak memberikan bantuan korban gempa tersebut Jatuh dan menghilangkan semua awak pesawatnya. Sehari kemudian disusul dengan kecelakaan pesawat Super Puma TNI AU.
Dan belum sempat korban pesawat TNI AL ditemukan serta isak tangis keluarga korban pesawat TNI AU belum sempat reda, sebuah bencana super besar tiba-tiba mengagetkan benak kita. Betapa tidak? Karena korban musibah ini bukan hanya satu dua orang, sepuluh atau dua puluh, atau bahkan ratusan dan ribuan, tapi sudah mencapai lebih dari ratusan ribu orang. Gempa bumi dan gelombang tsunami menghantam daerah yang justru dijuluki sebagai serambi Mekkah, yakni Nangroe Aceh Darussalam.
Barangkali tidaklah berlebihan kalau kita katakan, bahwa timbulnya berbagai malapetaka dan bencana di negara kita sekarang ini, salah satunya adalah akibat memudarnya semangat berkorban bangsa kita, khususnya di kalangan pejabat dan elit politik kita. Di samping juga yang jelas telah memudarnya rasa keimanan dan ketakwaan kita terhadap Allah Swt.
Banyak orang yang berlomba-lomba mengabdikan diri untuk bangsa dan negara, namun tidak memikirkan tentang apa yang akan mereka berikan, apa yang mereka korbankan, melainkan menantikan dan mengharapkan apa yang akan mereka dapatkan.
Karena itu, kita seharusnya memberikan kontribusi dan manfaat yang berguna bagi kebaikan dan kemajuan bangsa, bukan malah menarik keuntungan dari situasi buruk yang mendera bangsa ini.
Harus kita akui, saat ini tidak sedikit orang yang mengaku membangun bangsa tapi sejatinya ia telah merusaknya. Begitu banyaknya praktik-praktik korupsi yang menggejala di negeri ini adalah bukti bahwa bangsa ini miskin dari pribadi-pribadi yang jujur. Tiang dan sendi negara telah digerogoti oleh tangan-tangan yang katanya mengaku pengabdi dan membangun bangsa.
Untuk itu, momentum Idul Adha ini marilah kita jadikan tonggak menuju arah perbaikan bagi diri dan perbaikan bagi bangsa kita. Bagi para pejabat dan elit politik lebih banyak berkorban tenaga dan pikirannya untuk membangun bangsa dan negara ini. Sedangkan bagi rakyat pada umumnya, khususnya rakyat di ……………………………………………………….. ini, mari kita tingkatkan pengorbanan harta benda kita untuk kemaslahatan ummat, khususnya yang tampak di hadapan kita pada saat ini, yakni menyelesaikan pembangunan masjid …………………….
Mudah-mudahan dengan barokahnya amal kita tersebut, akan menyingkirkan balak dari diri, keluarga, kampung, serta bangsa dan negara kita. Dan, akhirnya marilah kita berdoa, semoga Allah Swt meridhai usaha yang kita lakukan. Dan kita senantiasa dimampukan oleh-Nya mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Amien 3x ya rabbal alamien…..

Sabtu, 14 Maret 2009

WISATA RELIGI HARIAN BHIRAWA (1)


 Drs H Choirul Anam, yang akrab dipanggail Abah, saat memberikan penjelasan tentang makam Tiban, Kompleks Makam Sunan Ampel.

Wisata Religi Harian Bhirawa


UNTUK yang kesekian kalinya, wisata religi Harian Bhirawa kembali diadakan. Kali ini pesertanya lebih banyak dari biasanya. Kalau biasanya hanya berkisar tidak lebih dari sepuluh orang, maka wisata yang diselenggarakan minggu pertama bulan Pebruari ini mencapai 16 orang, baik wartawan maupun karyawan harian Bhirawa.
Perjalanan diawali dari kantor Bhirawa Jl Indragiri, kemudian menuju ke makam Mbah Karimah di Kembang Kuning. Seperti biasanya, meski berkali-kali ziarah ini dilaksanakan, tapi para peserta selalu meminta cerita tentang makam yang dikunjungi.
Drs H Choirul Anam yang memimpin ziarah tersebut, tampaknya juga tidak bosan-bosan mendongeng. Tentang kisah Mbah Karimah, wartawan senior Bhirawa yang akrab dipanggil Abah ini menjelaskan, Mbah Karimah, nama aslinya adalah Mbah Wirosoerojo. Sedangkan Karimah yang kemudian menjadi istri Sunan Ampel adalah nama anak Mbah Wirosoerojo, tokoh yang disegani di kampong tersebut.
Kisah singkat perkawinan Sunan Ampel dengan Nyai Karimah adalah ketika Sunan Ampel membangun musholla yang kini menjadi Masjid Rahmat itu, Nyai Karimah-lah yang sering mengirimkan makanan saat istirahat. Karena seringnya pertemuan itu, maka timbul rasa cinta dan akhirnya mereka menikah.
Sedangkan tentang nama Kembang Kuning, terdapat dua sumber, masing-masing, pertama berasal dari Ampel Denta. Kata Ampel Denta berasal penggabungan dua kata, Ampel dan Dentho. Ampel berarti Gebang (pintu), dan Dhento berarti Kuning. Oleh karena itu pedukuhan Ampel Dhento disebut pedukuhan Gebang Kuning.
.Sumber kedua, berasal dari nama Mbah Karimah, yang juga dikenal dengan sebutan Ki Bang Kuning. Berhubung kaum penjajah kesukaran dalam pengucapan namanya berganti menjadi Kembang Kuning.

Sunan Bungkul
Usai berziarah di Mbah Karimah, rombongan yang dikomndani Ahmad Tauriq Imani menuju ke makam Sunan Bungkul. Kisah di kompleks makam Sunan Bungkul, tak hanya diberikan oleh Abah, tapi juga oleh peserta lain Ali Sulkan, yang kebetulan rumahnya berada di kompleks makam Bungkul. Selain berziarah di Sunan Bungkul, rombongan diajak Sulkan ke makam Maling Cluring yang terdiri dari tiga bagian, kepala, tubuh, dan kaki. Konon, maling itu tidak bisa mati kalau tidak dipisahkan.
Awalnya, Mbah Bungkul bernama Ki Ageng Supa. Sewaktu masuk Islam, berganti menjadi Ki Ageng Mahmuddin. Tapi karena tinggal di desa Bungkul, maka ia disebut Mbah Bungkul. Ia diperkirakan hidup di masa Sunan Ampel pada 1400-1481. Supa mempunyai puteri Dewi Wardah.
Ada dua versi tentang kisah perkawinan Dewi Wardah, versi pertama, Supa ingin menikahkan puterinya. Namun ia belum mendapatkan sosok yang diharapkan. Lalu Supa mengambil delima dari kebunnya dan bernazar, siapa pun lelaki yang mendapatkan buah ini, akan saya jodohkan dengan anakku, nazarnya.
Delima itu dihanyutkan ke Sungai Kalimas yang mengalir ke utara. Alur air sungai ini bercabang di Ngemplak menjadi dua. Di percabangan kiri menuju Ujung dan ke kanan menjadi kali Pegirikan. Tampaknya delima itu `berenang` ke kanan. Karena suatu pagi santri Sunan Ampel yang mandi di Pegirikan Desa Ngampeldenta, menemukan delima itu.
Sang santri pun menyerahkannya ke Sunan Ampel. Oleh Sunan Ampel delima itu disimpan. Besoknya, Supa menelusuri bantaran Kalimas. Sesampainya di pinggiran, ia melihat banyak santri mandi di sungai. Supa, yakin disinilah delima itu diselamatkan oleh salah satu di antaranya. Apakah ada yang menemukan delima, tanya Supa setelah bertemu Sunan Ampel. Raden Paku, murid Sunan Ampel dipanggil dan mengaku. Singkat cerita Raden Paku, yang kemudian terkenal dengan Sunan Giri itu, dinikahkan dengan anak Supa.
Versi kedua, Ki Ageng Supa mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku. Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Paku, dan ia berkata, ”Kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah.”
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengeluarkan seyembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel. “Tak usah bingung Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslim yang baik. Karena hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu,“ demikian kata Sunan Ampel.
"Tapi.....bukankah saya hendak menikah dengan putri Kanjeng Sunan yaitu dengan Dewi Murtasiah?” ujar Raden Paku. “Tidak mengapa?” kata Sunan Ampel. “Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiah selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.”
Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkul seorang bangsawan Majapahit itu.

Sunan Ampel
Ketika ziarah di makam Sunan Ampel, rombongan menyempatkan diri menyinggahi makam Mbah Sonhaji alias Mbah Bolong yang merupakan santri Sunan Ampel. Menurut cerita, pada saat membangun masjid Ampel, orang-orang bingung menentukan kiblat. Maka Mbah Sonhaji melubangi dinding depan masjid, dan atas izin Allah orang-orang bisa melihat ka’bah melalui lubang yang dibikin Mbah Sonhaji.
Tidak ketinggalan di kompleks makam Sunan Ampel, rombongan juga menyempatkan diri singgah di makam Mbah Soleh yang berjumlah sembilan makam. Konon, saat Kanjeng Sunan Ampel masih hidup, yang bertindak sebagai tukang sapu masjid adalah Mbah Soleh. Kalau Mbah Soleh menyapu, lantai masjid jadi bersih dan hampir tidak ada debu.
Ketika Mbah Soleh wafat, masjid pun jadi kotor. Maka berujarlah Sunan Ampel: “Andai kata ada Mbah Soleh, tentu masjid ini menjadi bersih,” Seketika itu pula muncul Mbah Soleh. Demikian berlangsung sampai delapan kali. Kemudian Sunan Ampel pun wafat. Maka sudah tidak ada Mbah Soleh lagi ketika beliau wafat.
Namun ada punya pendapat pribadi yang menarik untuk dicermati. Menurutnya, Mbah Soleh itu hanya satu. Sedangkan yang lainnya itu bukan Mbah Soleh, tapi prilakunya, khususnya dalam hal menyapu barangkali sebersih Mbah Soleh, sehingga orang kemudian menyebutnya sebagai Mbah Soleh. Wallaahu a’lam bish shawab.
Di kompleks makam Sunan Ampel pula rombongan diajak menziarahi makam tiban. Lokasinya di sebelah selatan tempat wudhu bagian utara Masjid Ampel, bersebelahan dengan makam pahlawan KH Mas Mansur. Tak lupa Abah pun bercerita.
Kisahnya, makam tersebut punya hubungan dengan gurunya Abah, KH Dzul Hilmi, yang juga imam rawatib masjid Agung Sunan Ampel Surabaya. Almarhum pernah memberikan modal bisnis kepada KH Dzul Hilmi.
Setelah meninggal, arwah almarhum sowan kepada KH Nawawi Muhammad (alm) yang juga imam masjid Ampel. Arwah tersebut minta tempat di Ampel. Maka KH Nawawi pun menunjukkan tempat yang kini ditempati makam tersebut. Selain sowan kepada KH Nawawi, arwah almarhum juga sowan kepada Ust Abdullah (alm). Ternyata meskipun tidak ada kesepakatan, Ust Abdullah juga memberikan tempat yang sama. Kemudian keesokan harinya muncullah makam tersebut.
Usai berziarah di kompleks makam Sunan Ampel, rombongan kemudian melanjutkan berziarah di Sunan Giri, lalu ke makam Maulana Malik Ibrahim, makam Dewi Retno Suwari dan makam panjang Leran, ke Sunan Drajat di Lamongan, dan diakhiri di Makam Sunan Bonang, Tuban.(zainlal ibad/bhirawa)

Khutbah 001-002

Saat Perang dan Si Buta pun
Diwajibkan Salat Berjamaah

(Disampaikan pada Khutbah Jumat di Masjid Hidayatullah, Kandangan, Benowo, Surabaya, tanggal 1 Rabi’ul Tsani 1425 H / 21 Mei 2004)

Oleh Drs H Choirul Anam

SALAT merupakan rukun Islam yang paling agung dan paling penting setelah syahadatain. Dia merupakan pertanda keimanan seseorang. Siapa yang meninggalkannya, maka dia dianggap kafir.
Allah Berfirman: "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam neraka saqar?” Mereka menjawab: “Kami dahulu termasuk orang-orang yang tidak mengerjakan salat.” (QS Al Mudatstsir 42-43).
Rasulullah Saw Bersabda: "Janji antara kita dan mereka adalah salat, maka siapa yang meninggalkannya, dia telah kafir." (HR Muslim). Beliau juga bersabda: "Antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan salat." (HR Ahmad dan Ahlussu¬nah yang empat dengan sanad yang sahih).
Karena tingginya kedudukan salat, maka dia diwajibkan langsung dari tujuh lapis langit. Dia juga merupakan amalan yang pertama kali dihisab dari seseorang pada hari kiamat. Jika sa¬latnya baik, maka baiklah seluruh amalannya, dan jika salatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalannya.
Salat diwajibkan kepada seluruh kaum muslimin yang bera¬kal, baligh, laki-laki maupun perempuan, diwajibkan dalam setiap keadaan, saat sehat maupun sakit, bermukim maupun sedang beper¬gian, saat aman atau ketakutan sesuai dengan kemampuannya.
Karena itu, marilah kita laksanakan baik-baik salat sesuai dengan syarat-rukunnya dan wajib-wajibnya jika kita benar-benar ingin menjadi orang beriman. Janganlah ucapan kita bertentangan dengan perbuatan kita, sehingga kita menjadi orang munafik, dan derajat kita jatuh di mata Allah Swt, Na'udlubillah.
Janganlah sampai kita menjadi orang beriman dengan kepalsuan yang mengaku muslim namun tidak mempraktekkan hukum-hukumnya, atau melaksanakan salah satu waktu salat, namun mengabaikan waktu-waktu lainnya. Karena semua itu bukan merupakan sifat-sifat muslim yang benar.
Padahal sifat muslim yang sebenarnya adalah tunduk patuh kepada Allah swt dan taat kepada-Nya kepada setiap apa yang diperintahkan, seperti di antaranya adalah menunaikan salat dan melaksanakannya sesuai waktunya.

Salat Berjamaah
Allah telah memerintahkan dalam kitab-Nya yang Mulia tentang wajibnya salat berjamaah bersama kaum muslimin, sebagaimana firman-Nya: "Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk." (QS Al Baqarah, 43)
Allah berfirman: "Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka yang salat besertamu sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadap musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum salat, lalu mereka salat bersamamu dan hendaklah mereka bersikap siaga dan menyandang senjata." (QS An Nisa 102)
Jika saat perang saja salat berjamaah tetap Allah perintah¬kan, apalagi jika dalam keadaan damai. Jika salat berjamaah boleh ditinggalkan, niscaya mereka yang sedang berada dalam barisan depan (peperangan) yang berbahaya dan khawatir diserang musuh lebih utama untuk meninggalkannya. Maka ketika hal tersebut tidak
dinyatakan, menunjukkan bahwa salat jamaah merupakan kewajiban yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan kecuali dengan udzur syar'i.
Rasulullah Saw telah menekankan wajibnya salat berjamaah kecuali jika ada halangan yang diperbolehkan syariat. Dalam hal ini sabdanya: "Siapa yang mendengar adzan, namun dia tidak meme¬nuhinya (dengan salat berjamaah di masjid), maka tidak ada salat baginya kecuali dia mempunyai udzur." (HR Hakim dan dia berkata haditsnya sahih dan disetujui oleh Adz-dzahabi).
Juga terdapat dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwa seseorang yang buta berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya tidak ada yang menuntunku ke masjid, apakah aku mendapatkan keringanan untuk salat di rumahku?" Beliau bersabda: "Apakah engkau menden¬gar azan salat?" Dia berkata: "Ya", maka beliau bersabda: "Sambu¬tlah (dengan datang ke masjid salat berjamaah."
Bagi kita yang sering meninggalkan salat berjamaah, marilah kita perhatikan, seorang buta yang tinggal jauh dari masjid, tidak ada yang menuntunnya, sedang di tengah perjalanan terdapat pohon-pohon dan binatang buas, namun dia tetap diwajibkan Rasu¬lullah Saw untuk salat berjamaah, dan sebelumnya Allah telah mewajibkan orang-orang yang berperang saat menghadapi musuh.
Lalu bagaimanakah dengan kita yang sehat walafiat, aman, tinggal dekat dengan masjid, namun masih salat di rumah. Tidakkah kita takut kepada Allah? Tidakkah kita malu kepada Allah?
Karena itu, bagi kita kaum muslimin yang masih suka menunda salat, marilah kita berhati-hati, terutama salat fajar dan ashar hingga keluar waktunya dengan sengaja. Marilah kita bertaubat kepada Allah selama kita mampu untuk itu, sebelum kita berada pada hari kiamat, lalu berucap:
"Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal yang salih terhadap yang telah aku tinggal." (QS Al Mukminun 99-100).**



Takwa, Hawa Nafsu, dan
Pembagian Waktu bagi Orang Bijak

(Disampaikan pada khutbah Jumat di Masjid Hidayatullah, Kandangan, Benowo, Surabaya, tanggal 8 Rabi’ul Awal 1425 H / 28 Mei 2004)


Oleh Drs Imam Syuhada’

MARILAH kita meningkatkan iman dan takwa kepada Allah Swt dalam arti melaksanakan segala perintah-Nya dan men¬jauhi segala larangan-Nya. Sebab, hanya dengan itulah kita akan dapat hidup bahagia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Janganlah sekali-kali kita meninggalkan dunia ini, kecuali dalam keadaan beriman dan Islam.
Dalam hal ini Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali Imran 102).
Takwa juga dapat menumbuhkan amal-amal salih yang nyata sebagai pembuktian kebenaran iman. Sebab segala perbuatan dan amal manusia, baik maupun jahatnya memrupakan pencerminan imannya kepada Allah Swt.
Kemusyrikan dan kemaksiatan adalah merupakan penyakit hati yang dapat menggugurkan iman dan melepaskan sifat-sifat muttaqien. Bukan mustahil bahwa penyakit-penyakit hati yang demikian merupakan hasil bujukan syaitan yang mempengaruhi hawa nafsu insaniyah.
Hawa nafsu yang telah dipengaruhi syaitan ialah sudah pasti membawa kita kepada kesesatan dan akhirnya adzab dan siksa Allah juga akan kita rasakan. Sebagaimana Allah berfirman: “Maka plernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkan sesaat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberikan petunjuk sesudah Allah (membiarkan sesaat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS Al Jatsiyah 23).
Dari ayat tersebut, semakin jelaslah ia bukan lagi semakin jelas bahwa orang-orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya belaka pasti sesat dan semakin sesat. Jika sudah demikian keadaan seseorang, maka jelas ia bukan lagi sebagai manusia mukmin dan muttaqin. Na’udzubillaah min dzaalik.
Setelah kita mengetahui kejahatan dan bahaya memperturutkan hawa nafsu, maka sebagai mukmin dan muslim yang sadar hendaknya selalu berusaha menekan dan memerangi pengaruh hawa nafsu itu sendiri.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw yang menyatakan bahwa jihad yang paling besar ialah memerangi hawa nafsu, sebagaimana sabdanya: “Kita kembali dari jihad kecil kepada jihad yang besar.” Sahabat bertanya: “Jihad apa yang lebih besar ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “(Jihad yang besar) ialah memerangi hawa nafsu.” (HR Bukhari).
Di samping itu, dalam kesempatan ini, marilah kita ingat tentang pembagian waktu bagi orang-orang bijak. Dalam kitab Zabur, Allah mendiktekan wahyu kepada Nabi Dawud As: “Sesungguhnya orang berakal yang cerdik pandai itu tidak akan lepas dari empat saat: saat di mana ia menghadap Tuhannya, saat di mana ia membuat perhitungan atas dirinya, saat di mana ia pergi menemui para teman yang menunjukkan aib dirinya, dan saat di mana memisahkan diri dari kelezatan dari kelezatan hidup yang halal."
Pertama, dalam rangka menghadap Tuhan dapat dilakukan dengan cara berdzikir. Dalam hal ini segolongan hukama’ menyatakan: “Tiga hal dapat memecahkan gundah gulana, yaitu dzikrullah (mengingat Allah), menemui Wali-wali Allah, dan ucapan hukama’.”
Menghadap Tuhan juga dapat dilakukan dengan membaca firman-Nya. Telah banyak anjuran untuk membaca Firman-Nya atau Alquran ini, di antaranya Rasulullah pernah bersabda: “Hendaklah engkau membaca Alquran, sebab ia adalah cahaya bagimu di bumi dan simpananmu di langit.” (HR Ibnu Hibban).
Selain itu, dalam rangka menghadap Tuhan juga dapat dilakukan mengadukan hal ihwal hidupnya (bermunajat) kepada Allah. Misalnya dengan membaca semacam: “Ya Tuhan penolong setiap orang yang merana meronta, ya Tuhan yang mengabulkan setiap doa orang sengsara, ya Tuhan yang Maha Bijaksana terhadap setiap orang yang bersalah dan durhaka, ya Tuhan yang mencukupi setiap orang yang lebih mementingkan-Mu ketimbang dunianya, aku mohon kepada-Mu untuk dapat mencapai sesuatu yang tak dapat aku gapai tanpa pertolongan-Mu, dapat menolak sesuatu yang tak mampu aku menolak tanpa kekuatan-Mu, dan aku memohon kepada-Mu kebaikan yang penuh sejahtera dan kesejahteraan di atas semua yang mempunyai belas kasih.”
Kedua, dalam rangka membuat perhitungan dapat dilakukan dengan cara mencatat semua perbuatannya, kemudian dilakukan perhitungan pada ujung siang dan ujung malam. Dengan begini akan jelas yang ia lakukan, bersyukur atau justru istighfar (mohon ampunan dosa).
Ketiga, menemui teman yang menunjukkan aib-aib dirinya, hal ini agar dapat kita memperbaiki diri kita sendiri. Sehingga kualitas hidup kita akan semakin baik. Hari ini akan lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok akan lebih baik dari hari ini, dan seterusnya, dan selalanjutnya.
Keempat, memisahkan diri dari kelezatan hidup yang halal, di antaranya adalah dengan melaksanakan puasa-puasa sunah, seperti puasa hari Senin dan Kamis, puasa setiap tanggal 13,14, dan 15, puasa di bulan Rajab, dan sebagainya.**




Jumat, 13 Maret 2009

Resensi Buku: Nilai Plus Ilmu Tajwid


Resensi Buku: 


Nilai Plus dari Ilmu Tajwid

Judul Buku : Ilmu Tajwid Plus
Penulis : Moh. Wahyudi
Penerbit : Halim Jaya, Surabaya
Edisi : Cetakan Pertama Mei 2007
Jml Halaman : 373 + xvii
Peresensi : Drs H Choirul Anam, 
  Imam rawatib dan Kepala Unit TPA Masjid Hidayatullah, Kandangan Surabaya.
   

SEBAGAI bagian dari ilmu Alquran, ilmu tajwid memiliki arti penting dan menjadi pelajaran wajib dalam studi Alquran. Dalam ilmu Tajwid akan diketahui secara detail dan luas tentang bacaan yang benar dengan hukum-hukumnya. Seperti ditulis pada cover belakang buku tersebut, buku ini merupakan buku tajwid yang lengkap dan komprehensip, dengan ulasan yang mudah dipahami dan ringkas.
Buku ini sengaja diberi judul Ilmu Tajwid Plus, karena merasa memiliki nilai lebih dibandingkan dengan buku tajwid yang pernah beredar dalam edisi bahasa Indonesia. Seperti dikatakan penulisnya bahwa nilai lebihnya terletak pada format isi yang lebih variatif. 
Dalam buku ini tidak hanya menghadirkan lima bahasan pokok yang lazim dikupas dalam ilmu tajwid, seperti Makhorijul Huruf, Sifatul Huruf, Ahkamul Huruf, Ahkamul Madd, dan Ahkamul Waqfi wal Ibtida’, tetapi juga bahasan lain yang dianggap penting untuk diketahui dan dipelajari bagi para pembaca Alquran, santri dan guru Alquran, serta masyarakat luas.
Di antaranya tentang sejarah dan biografi lengkap ulama qiraat sab’ah, tajwid adzan dan iqamah, cara menyambung akhir Surat Al Anfal dengan Surat Al Baro’ah (hal. 259). Selain itu, dalam buku ini juga dicantumkan contoh-contoh aplikasi yang bersumber dari Alquran, yang dapat dipergunakan untuk latihan membaca, skema dan tabel dari pembahasan untuk memudahkan hafalan.
Sementara itu, yang lebih menarik lagi, dalam buku ini secara lengkap disebutkan arti dan istilah dari suatu bahasan, bahkan dicantumkan juga definisi dengan bahasa Arab, lengkap dengan mengutip sumber dari kitab yang dipakai rujukan. Hal ini untuk menambah keyakinan pengetahuan dan memperkaya wawasan bagi pembacanya. Misalnya, bacaan Izh-har Halqi. Izh-har menurut bahasa adalah al Bayan, artinya jelas. Sedangkan Halqi artinya tenggorokan. 
Sedangkan Izh-har menurut istilah adalah ikhraaju kulli harfin min makhrojihii min ghoiri ghunnahtin fil harfil muzh-har (mengeluarkan setiap huruf dari makhrojnya tanpa memakai dengung/sengau pada huruf yang dibaca izh-har) . Menurut catatan kakinya, definisi ini diambil dari kitab Hidayatul Mustafid, halaman 5 dan Ar Ro’id fi Tajwidil Quran, halaman 5.(hal. 93).
Contoh lain bisa dilihat pada bacaan Ikhfa’ (hal. 101). Ikhfa’ menurut bahasa adalah As-Satru, artinya samar atau tertutup, sedangkan menurut istilah, Ikhfa’ adalah an nuthqu bil harfi bi shafatin bainal izh-har wal idghami ’aarin ’anit tasydiidi ma’a baqaail ghunnati fil harfil mukhfiyyi (mengucapkan huruf dengan sifat antara Izh-har dan Idghom, tanpa tasydid dan dengan menjaga ghunnah pada huruf yang diikhfakkan). (Diambil dari kitab Ar-Ro’id fi Tajwidil Quran, halaman 11)
 Pembahasan secara detail tentang suatu masalah ini tidak hanya menyangkut masalah kaidah tajwid saja, tapi bahkan sejak bab pendahuluan yang membahas tentang pentingnya ilmu tajwid itu sendiri. Pada bab pendahuluan disebutkan pengertian tajwid itu sendiri, yakni tajwid secara bahasa berasal dari kata ’jawwada-yujawwidu-tajwidan’ yang artinya membaguskan atau membuat bagus. Sementara pengertian yang lain menurut lughoh (bahasa), tajwid dapat juga diartikan al ityaanu bil jayyidi (segala sesuatu yang mendatangkan kebajikan). 
 Sedangkan pengertian tajwid menurut istilah adalah ’ilman yu’rofu bihii I’thoo-u kulli harfin haqqohu wa mustahaqqahu minash shifaati wal mududi wa ghoiri dzalika kat tarqiiqi wat tafkhiimi wa nahwi hima (ilmu yang memberikan segala pengertian tentang huruf, baik hak-hak huruf/haqqul huruf dipenuhi, yang terdiri atas sifat-sifat huruf, hukum-hukum madd, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah tarqiq, tafkhim, dan semisalnya. Definisi ini diambil dari kitab Hidayatul Mustafid halaman 4.
 Mengutip matan Jazariyah halaman 14 dijelaskan bahwa ilmu tajwid adalah wa huwa I’thoo-ul huruufi haqqoha min shifatin laha wa mustahaqqoha (ilmu yang memberikan pengertian tentang hak-hak sifat huruf dan mustahaqqul huruf.
 Sedangkan mengutip Jalaluddin as-Suyuthiy (rahimahullah) memberikan pengertian tentang tajwid: huwa I’thoo-ul huruufi huquuqaha wa tartiihaa wa raddal harfi ila makhrojihii wa ashlihii wa talthiifunnuthqi bihi ’ala kamaali hai-atihii min ghoirisraafin walaa ta’assufin walaa ifroothin wala takallufin (memberikan huruf akan hak-haknya dan tertibnya, mengembalikan huruf kepada makhraj dan asal (sifatnya) serta menghaluskan pengucapan dengan cara yang sempurna tanpa berlebih-lebihan, serampangan, tergesa-gesa dan dipaksakan).

Perbedaan Qiraat
 Sementara itu, tentang perbedaan qiraat, dalam buku ini didahului dengan mengutip beberapa hadis (hal. 14, 15 dan 16). Kemudian dijelaskan tentang pengertian tujuh huruf, yakni para ulama berbeda pendapat mengenai maksud tujuh huruf sebagaimana yang disebutkan oleh hadis tersebut. Ada yang mengatakan tujuh bahasa, ada yang mengatakan tujuh bentuk perbedaan dan sebagainya. 
 Imam Suyuthy mengatakan, perbedaan pendapat tentang maksud tujuh huruf tersebut tidak kurang mencapai 40 pendapat. Untuk mengetahui lebih jelas masing-masing pendapat itu, dapat dilihat dalam ilmu qiraat. Terlepas dari perbedaan pengertian tersebut, yang jelas dengan adanya kelonggaran bacaan, semua suku dan lidah bangsa Arab dapat membaca Alquran dengan baik.
 Asal mula terjadinya perbedaan qiraat adalah karena bangsa Arab dahulu mempunyai berbagai dialek bahasa (lahjah) yang berbeda antara satu kabilah dengan kabilah lain. Alquran yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya menjadi semakin sempurna kemukjizatannya karena ia dapat menampung berbagai macam dialek tersebut, sehingga tiap kabilah dapat membaca, menghafal, dan memahami wahyu Allah Swt.
 Qiraat yang bermacam-macam ini kemudian oleh Rasulullah Saw diajarkan kepada para sahabatnya, sehingga muncul para ahli bacaan Alquran yang menjadi panutan masyarakat. Yang termasyhur di antaranya adalah Ubay bin Ka’ab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Zaed bin Tsabit, dan Abu Musa Al Asy’ariy. Mereka inilah yang menjadi sumber bacaan bagi sebagian besar sahabat dan tabiin.
 Namun dalam perkembangan selanjutnya, perbedaan qiraat ini menghadapi masalah serius karena munculnya banyak versi bacaan yang semuanya mengaku bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Untuk itu, dilakukan peneliatan dan pengujian para pakar qiraat dengan menggunakan kaidah dan kreteria dari segi sanad, rasm Utsmani, dan tata bahasa Arab.
 Dari sekian banyak qiraat yang bermunculan setelah Rasulullah wafat, setelah dilakukan penelitan dan pengujian yang mendalam, ternyata yang sah dan bernilai mutawatir, menurut kesepakatan ulama ada tujuh qiraat. Dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa ketujuh qiraat itu masing-masing dikuasai, dipertahankan dan dipopulerkan oleh tujuh imam qiraat yang berbeda. Dari merekalah diketahui sumber-sumber qiraat tersebut dan mereka pula yang memiliki sanad yang jelas dengan segala persyaratannya.**


Rabu, 04 Maret 2009

Assalamu'alaikum